Penulis: Victor
Yeimo
Pranata Kolonialisme di Papua
UNTUK berbagai ragam masalah di tanah
Papua, kita mau tidak mau mesti berangkat dari pengertian bahwa bangsa Papua
sedang dijajah. Peliknya persoalan dan jenis kesengsaraan yang menimpa orang
Papua, merupakan bentuk dari kolonialisme modern yang kemudian dapat
dibahasakan sebagai imperialisme. Dengan begitu, perspektif cara pandang kita
menjadi jelas bahwa semua ketimpangan ekonomi, sosial dan politik di West Papua
merupakan anak kandung kaum imperialis yang bernama, Indonesia.
Dalam prakteknya, penjajahan di
teritori West Papua, Indonesia menggunakan metode yang kurang lebih serupa
dengan pengalaman yang dialaminya selama menjadi korban penjajahan. Selama
hampir dua ratus tahun, daerah-daerah di Indonesia mengalami periode kekerasan
dari praktek kolonialisme Belanda. Praktek kekerasan dalam mengendalikan tanah
jajahan ini disebut sebagai repressive colonialism. Selain Belanda,
bentuk penjajahan seperti ini antara lain diterapkan oleh beberapa negara Eropa
seperti Spanyol dan Prancis. Tipe kolonialisme yang represif ini mensyaratkan
penutupan ruang-ruang kebebasan bereskpresi dan penghancuran yang simultan
serta kontinyu terdapat upaya-upaya kemerdekaan yang muncul sebagai aspirasi
sosial politik rakyat jajahan.
Bentuk tersebut agak berbeda dengan
jenis kolonialisme yang diterapkan Amerika Serikat dan Inggris yang disebutliberal
colonialism. Bentuk kolonialisme macam inu, bergulir dengan cara menjadikan
daerah-daerah jajahan menjadi satelit yang terikat dengan kebebasan yang
terbatas. Daerah-daerah koloni dikontrol sedemikian rupa dengan pendekatan
hegemonik sehingga menjadikan mereka yang terjajah merasa tidak membutuhkan
kemerdekaan. Bekerja melalui perangkat-perangkat ideologis sehingga aspirasi
sosial politik masyarakat terjajah adalah ketergantungan yang bersifat adiktif
terhadap penjajahnya.
Ekspansi kekuasan Indonesia yang
dilakukan Soekarno melalui Trikora (Tri Komando Rakyat) terhadap wilayah
kedaulatan West Papua, yang dimulai pada 1 Mei 1961 (atau 19 hari setelah
deklarasi Manifesto Kemerdekaan West Papua) menjadi awal dari penjajahan
tersebut. Aksi ekspansif Indonesia ke tanah Papua, dengan berbagai alasan
pembenarannya justru menjadi pembuktiaan mental militerisme dan hasrat kolonialisme
penguasa Indonesia saat itu yang akhirnya terus berlangsung hingga sekarang.
Praktis, hal tersebut menjadikan West Papua sebaga wilayah protektorat dari
kolonial Indonesia. Tindakan Indonesia yang menganesksasi Papua sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan kelakuan Perancis di daerah-daerah Indocina tahun
1889, atau tidak jauh berbeda dengan tindakan kolonial Belanda terhadap
Indonesia di masa lalu. Warisan sifat-sifat kolonialis Eropa di Indonesia
misalnya tampak jelas dalam praktek pecah belah (devide et impera) dan
mengutamakan pendekatan yang berkarakter militeristik. Orang-orang Papua
kemudian saling diadu dan dipecah belah. Sekolah-sekolah Indonesia di Papua
kemudian mengajarkan bahwa menuntut kemerdekaan adalah sesuatu yang illegal dan
Indonesia bukanlah penjajah. Jika ada kelompok yang telah mencapai kesadaran
politik dalam dirinya untuk menuntut hak sebagai manusia merdeka, mara mereka
akan berhadapan dengan senjata. Penyiksaan, penangkapan semena-mena, hingga
eksekusi politik kemudian dianggap lumrah. Menebar teror ke tengah bangsa Papua
agar mereka menutup mulut dan tidak bicara soal kemerdekaan.
Selain dua strategi di atas, Indonesia
juga menjalankan praktik penjajahan lain melalui politik asimilisasi
(Indonesianisasi). Praktek ini dijalankan dengan pendapat bahwa orang Papua
masih terbelakang dan tuntutan kemerdekaan yang muncul semata-mata karena
ketidakpahaman mengenai ke-Indonesia-an itu sendiri. Praktek Indonesianisasi
ini, misalkan, dijalankan melalui pendidikan sosial budaya baik melalui sekolah
maupun institusi terkait lain. Orang Papua sebagai ras Melanesia diajarkan
bahwa mereka adalah Indonesia itu sendiri walau sebenarnya West Papua tidak
berbagi kesamaan sejarah dan budaya seperti Melayu Indonesia. Pendekatan macam
ini digunakan sebagai bagian dari trik untuk menjadikan bangsa Papua sebagai
bangsa terjajah kemudian memiliki ketergantungan kepada penjajah Indonesia dan
akhirnya takut untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Alasan lain penggunaan
taktik asimilasi ini adalah menguatnya tekanan internasional atas rangkaian
praktek kekerasan oleh Indonesia terhadap aktifis kemerdekaan Papua dan juga
pembatasan kebebasan hak-hak politik warga sipil. Sejauh ini semua taktik
Indonesia untuk menundukkan Papua dan hasrat kemerdekaannya masih belum berhasil.
Dalam beberapa kasus, justru dukungan terhadap Papua semakin meluas setelah
masyarakat internasional menyaksikan bagaimana orang Papua ditindas di tanahnya
sendiri.
Selain itu, rakyat West Papua mulai
memahami sejarah dirinya sebagai bangsa dan bagaimana kemudian pola
kolonialisme yang dilakukan Indonesia secara menyeluruh di tanah Papua.
Pendidikan sejarah dan budaya orang Papua kemudian secara perlahan menjadi alat
untuk menumbuhkan kesadaran dalam menuntut kemerdekaan sebagai bangsa yang bermartabat.
Orang-orang Papua (khususnya generasi muda) kemudian dapat memahami bahwa
berbagai konflik di tanah Papua sebenarnya dilahirkan oleh kontradiksi alamiah
antara dua kekuatan yang bertentangan. Di satu sisi ada semangat kolonialisme
Indonesia, sementara di sini yang berseberangan ada hasrat mulia anak-anak
Papua untuk memerdekakan diri dari penjajahan.. Seperti yang dikatakan Frantz
Fanon bahwa, akan selalu ada kontradiksi antara kolonialisme yang semakin kokoh
menanamkan kuku dan semakin tingginya spirit dekolonisasi dari bangsa yang
terjajah. Kontradiksi tersebut kemudian akan meruncing kepada benturan konflik
antara dua kepentingan yang berbeda ini. Sebagai seorang revolusioner Fanon
menyadari bahwa satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik yang terjadi
terus menerus tersebut adalah dengan menghapuskan penjajahan itu sendiri.
Sebab, penjajahan adalah akar dari konflik-konflik tersebut.
Dalam kasus yang sedang dialami bangsa
Papua, solusi yang ditawarkan Fanon belum tercapai. Hal ini disebabkan karena
praktek penindasan kolonial Indonesia berupaya untuk terus mempertahankan
teritori tanah Papua sebagai objek transaksi ekonomi politik Indonesia dan para
pendukungnya seperti Amerika Serikat. Namun kita semua juga harus tahu dan
memahami bahwa sebagai penjajah, Indonesia sendiri sebenarnya tidaklah
benar-benar merdeka. Penguasa kolonial Indonesia buktinya masih juga memiliki
ketergantungan dengan seperti Amerika Serikat. Dengan kata lain, Indonesia
adalah penjajah yang juga masih terjajah. Dijajahnya Indonesia secara ekonomi
dan politik oleh bangsa lain menjadi salah satu sebab mengapa, eskploitasi
terhadap Papua berlangsung berkali lipat lebih keras. Bahwa rakyat Indonesia
sendiri masih berada di bawah bayang-bayang imperialisme global yang membuat nasibnya
sedikit lebih baik karena berhasil menjerumuskan rakyat West Papua ke dalam
mata rantai penindasan..
Aneksasi Indonesia terhadap Papua pada
1 Mei 1961, sebenarnya jelas bertentangan dengan semangat dasar dekolonisasi
dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di tahun 1955, yang mana Indonesia merupakan
salah satu bangsa penggagasnya. Dalam KAA pertama itu, tercantum dengan jelas
bahwa forum tersebut berupaya mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa yang sedang
berada di bawah penjajahan dan saling bantu antar bangsa yang baru saja
merengkuh kemerdekaannya. Namun delapan tahun kemudian, Indonesia mengkhianati
semangat KAA dengan menjadikan bangsa Papua sebagai jajahannya. Walau
sebenarnya Indonesia dapat mengambil pilihan lain yang lebih bermartabat, yaitu
dengan ikut mendorong dekolonisasi West Papua sekaligus mengulurkan tangan dan
membantu bangsa Papua membangun diri dan bangsanya. Pilihan untuk menempuh
cara-cara imperialis kolonialis seperti yang dilakukan bangsa Eropa sebelumnya
terhadap Indonesia, membuktikan bahwa penguasa Indonesia telah diracuni oleh
pemikiran kolonialisme tersebut. Dengan begitu tentu kita semua dapat menemukan
bahwa sikap Indonesia dalam KAA baru-baru ini terkait soal kemerdekaan
Palestina menjadi sesuatu yang kontra produktif. Sebab ketulusan mendukung
kemerdekaan sebuah bangsa tidak mungkin kita temukan dari mulut seorang
penjajah. Dukungan Indonesia terhadap Palestina menjadi tidak sesuai dengan
kenyataan praktek kolonisasi teritori West Papua.
Semangat nasionalisme Indonesia yang
dibentuk sebagai semangat anti penjajahan, seharusnya tidak digunakan untuk
membenarkan praktik penjajahan itu sendiri. Indonesia juga seharusnya berhenti
melakukan tindak rekayasa sejarah dengan mengaitkan teritori West Papua sebagai
wilayah kedaulatannya. Sebab sejarah sosial budaya antara West Papua dan
Indonesia jelas berbeda. Indonesia dan West Papua hanya akan dapat menemukan
kesamaan mereka pada soal spirit untuk mendorong kemerdekaan dari penjajahan
dan cita-cita membangun bangsa masing-masing untuk menjadi lebih maju dan
beradab.
Pembebasan Bangsa
Perlawanan rakyat Papua terhadap
pendudukan kolonialisme Indonesia di teritori West Papua tidaklah terkurung
dalam romantisme dan nasionalisme sempit. Perjuangan orang-orang West Papua
untuk mencapai kemerdekaan dilandaskan sepenuhnya pada kesadaran dan gagasan
yang lebih besar. Yakni kesadaran untuk bebas dari segala bentuk dan aktor yang
sedang menguasai dan menjajah serta merusak bumi Papua. Selayaknya
bangsa-bangsa lain di dunia, bangsa Papua juga memiliki hak azasi untuk
menentukan nasibnya sendiri. Penentuan nasib sendiri adalah pintu awal untuk
kembali menata peradaban bangsanya.
Penentuan nasib sendiri oleh orang
Papua adalah cara untuk menyelamatkan bumi Papua dari kerusakan besar-besaran
yang terus melanda. Penentuan nasib sendiri secara ekonomi dan politik adalah
cara untuk menghentikan konflik bersenjata dan lingkaran kekerasan yang
menjadikan anak-anak Papua sebagai korban. Penentuan nasib sendiri adalah cara
untuk menyelamatkan orang Papua dari kepunahan. Penentuan nasib sendiri adalah
cara agar orang Papua dapat maju dan berkembang sejajar dengan bangsa-bangsa
lain di dunia. Penentuan nasib sendiri adalah cara agar orang-orang Papua tidak
lagi menjadi warga kelas dua di atas tanah leluhurnya. Penentuan nasib sendiri
adalah cara menyelamatkan warisan kebudayaan Papua yang beragam agar tidak
musnah. Penentuan nasib sendiri adalah tuntutan nurani setiap anak Papua.
Penentuan nasib sendiri termasuk di
dalamnya kebebasan agar orang Papua dapat menentukan sistem ekonomi yang dapat
melepaskan bangsanya dari ketergantungan mekanisme pasar global. Sistem ekonomi
yang bebas dari intervensi neo-liberalisme yang merupakan wajah baru
kolonialisme. Penentuan nasib sendiri adalah soal bagaimana anak-anak Papua mengambil
tanggung jawab untuk menata sistem perekonomian yang sesuai dengan corak
produksi rakyat Papua sendiri. Agar di kemudian mama-mama kami tidak berjualan
di atas trotoar jalan, atau terkucil di bawah dominasi ekonomi kapitalis yang
dilindungi penguasa kolonial Indonesia. Dengan penentuan nasib sendiri Papua
dapat kembali menjadi bangsa yang bermartabat serta kembali dapat menata hidup
dalam kekerabatan keluarga, marga dan suku di atas tanah Papua, sesuai dengan
wilayah adat kami masing-masing. Kemerdekaan bagi orang-orang Papua berarti
bahwa kami dapat mengatur sendiri kontruksi sosial budaya kami dalam tata hidup
budaya Melanesia.
Kami yakin bahwa dengan kemerdekaan,
kami orang Papua dapat menemukan kembali nilai dan prinsip-prinsip politik yang
telah tertanam dalam kehidupan sosial-politik kami, dan mencegah bangsa kami
untuk melakukan atau mendiamkan segala bentuk penindasan manusia bumi.
Itu mengapa hak untuk menentukan nasib
sendiri bagi bangsa Papua harus diperjuangkan untuk memutus mata rantai
penindasan. Menindas orang-orang Papua sebagai jalan keluar karena penindasan
yang diterima dan dialami Indonesia dari bangsa lain, tidak akan membuat bangsa
Indonesia jauh lebih baik. Sebaliknya, mendukung kemerdekaan Papua akan membuat
Indonesia satu langkah lebih dekat dengan kemerdekaannya dari penjajahan
ekonomi dan politik bangsa lain.***
Penulis adalah Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat
(KNPB)
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di indoprogress.com dan dimuat kembali
di blog ini karena kami sadar bahwa tulisan ini sangat penting bagi kami
mahasiswa dan masyarakat Papua. Tidak hanya kami orang Papua, juga para relawan
solidaritas, kaum buruh untuk yang memperjuangkan hak mereka, bahwa penjajahan
di Papua juga merupakan penjajahan yang dilakukan oleh kolonial dan imperialis
Indonesia saat ini.
0 komentar:
Post a Comment