Penulis: Patrick Yakobus
Kita
orang Papua mestinya tidak goblok dan gila dengan tidak merelakan hidup dan
masa depan kita ditentutan oleh para budak yang nyata-nyata tak mampu berbuat
apa-apa! Kita manusia Papua berakal budi, punya marifat dan hikmat: mengapa
kita mau menjadi seperti para budak goblok dan tolol itu dengan diam saja dan
tidak menentukan pilihan?
Para pejabat pemerintahan negara Indonesia di tanah Papua, mulai dari Gubernur, Kapolda Papua, pimpinan militer Indonesia di Papua, hingga kepala distrik dan desa, kepala polisi sektor, pimpinan aparat keamanan tingkat distrik dan kampung, merekalah para budak itu. Para budak itu juga adalah para politisi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat di pusat maupun daerah: tingkat provinsi dan kabupaten, para pejabat di lingkungan kabupaten dan provinsi, para pimpinan organisasi dan lembaga bikinan negara Indonesia.
Mereka itu adalah budak Indonesia. Tugas mereka melayani tuannya, negara Indonesia.
Ini yang ironis. Kita gantungkan detak nafas ini kepada kumpulan budak di tanah air Papua. Apa buktinya? Kita masih tetap dengan terus berharap perubahan dengan ikut memilih dan memberikan suara dalam pemilihan Gubernur dan wakil gubernur, Bupati dan wakil bupati, DPR di provinsi dan kabupaten/kota dan DPR pusat perwakilan Papua.
Orang Papua masih dan terus berharap kepada Lembaga Pengembangan Masyarakat Amugme dan Kamoro (LPMAK), dan berbagai program beasiswa khusus Papua lainnya akan mencerdaskan kehidupan orang Papua dan abai lihat pengabaian layanan pendidikan yang makin parah.
Orang Papua masih mengadu dan terus berharap kepada para polisi dan pemerintah daerah bahwa mereka akan menutup lokalisasi dan prostitusi berkedok karaoke, panti pijat, dll yang sudah terang-terangnya menyebar HIV/AIDS yang menghabiskan orang Papua.
Orang Papua masih berharap dan terus berharap pemerintah daerah akan mengeluarkan peraturan daerah (Perda) bahwa tanah adat adalah milik masyarakat adat, dan kedaulatan atas tanah tak dapat diganggu gugat oleh negara, bahkan koorporat asing yang ingin menambang atau mengeksploitasi sumber-sumber alam di atas tanah adat kita.
Orang Papua masih berharap gubernur Papua dan Papua Barat akan gratiskan pendidikan dari TK dan SD hingga SMA atau hingga selesai strata satu (S1), dengan alasan, emas Papua dari Tembagapura 8.000 ton per hari diproduksi dan sebenarnya biaya pendidikan seluruh anak usia sekolah di tanah Papua untuk satu semester misalnya, cukup dipenuhi hanya dari satu hari produksi emas di Freeport yang 8.000 ton emas itu. Belum tembaga. Belum uranium. Belum perak dan mineral lain dalam sehari produksi.
Orang Papua masih berharap kesehatan di Papua gratis dan semakin sedikit dengan setia memilih salah satu bakal calom bupati, gubernur, DPR, dll setiap pemilihan umum eksekutif maupun legislatif.
Hai orang Papua, kau sudah gila kah? Atau kesadaran kita sudah hilang kah?
Mereka itu budak negara Indonesia yang menjalankan sistem penjajahan di atas tanah air kita. Tugas para budak itu selamanya adalah melayani penjajah Indonesia sebagai tuannya. Bukan layani kau yang rakyat Papua itu. Sama sekali tidak. Mereka digaji penjajah dan bekerja untuk penjajah!
Siapa pun gubernur, bupati, DPR, DPD, kepala polisi, militer, bahkan mungkin walau dia keluarga dekat kita, om, bapade, atau sepupu, siapa pun dia, mereka itu tak akan mungkin menjawab semua kerinduan kita. Apa buktinya? Banyak!
Sejak 1969, rezim pemerintahan bergulir dan silih berganti, di ibukota kabupaten/provinsi, tak ada kios atau toko milik orang asli Papua. Benar to? Walau ada, hanya satu atau dua. Itu juga, pasti kalah dari para pemodal migran dan luar. Kenyataannya sudah seperti itu, masihkah kita berharap pemerintah daerah, orang-orang kita di Eksekutif dan Legislatif akan merubah nasib hidup kita? Ya jelas tidak! Mereka itu budak dan kaki tangan pemerintahan penjajah yang kita kenal sebagai negara Indonesia.
Kita masih bermimpi pendidikan dan kesehatan akan digratiskan. Itu kan sudah dijanjikan setiap calon kepala pemerintahan di kabupaten dan provinsi. Terealisasi? Ya tidak lah! Mengapa? Karena mereka tak punya cukup kuasa untuk bikin itu. Mereka itu hanya budak dan kaki tangan pemerintahan penjajah yang kita kenal sebagai negara Indonesia.
Kita masih bermimpi bahwa polisi di Papua akan menindak tegas para pebisnis prostitusi dan PSK yang menyebarkan HIV/AIDS hingga jumlah orang asli Papua berkurang; atau berharap peredaran minuman keras akan dikurangi? Ya jelas itu mimpi lah! Mengapa? Karena polisi Indonesia di Papua itu budak dan kaki tangan pemerintahan penjajah yang kita kenal sebagai negara Indonesia.
Kita berharap tanah air dan kekayaan alam kita tidak dieksploitasi lagi oleh perusahaan baik nasional, asing maupun multi national coorporation hingga hutan kayu, ladang sagu, tanah tanah keramat yang dilindungi sejak leluhur orang Papua itu tetap lestari dan orang Papua hidup aman? Ya jelas itu mimpi lah! Mengapa? Karena para budak di Papua itu, mereka tak punya kuasa membatasi jumlah perusahaan asing. Mengapa begitu? Ya jelas karena mereka itu budak atau kaki tangan dari pemerintahan penjajah yang namanya kita kenal sebagai negara Indonesia.
Gubernur, Polisi, bupati, DPR, DPD, mereka dibatasi oleh sistem yang mengikat. Misalnya, Gubernur tidak boleh bicara, "Saya ingin penghasilan Freeport Indonesia di Timika 80% masuk ke kas provinsi untuk bangun Papua karena itu adalah hasil dari tanah Papua". Bupati, DPR, DPD, mereka tak bisa bicara demikian. Mengapa? Mereka itu budak. Tugas budak adalah melayani sang tuan. Selamanya mereka tak akan peduli pada rakyat Papua.
Atau coba sebut, DPR, DPD, Gubernur dan Bupati mana di Papua yang benar-benar jadi penyambung lidah rakyat dan mengatakan kepada Indonesia bahwa mayoritas rakyat Papuanya menginginkan Papua Merdeka, saat sidang resmi? Tak ada. Mereka tak akan mungkin bicara soal Papua Merdeka walau itu suara mayoritas rakyat Papua. Mereka budak dan kaki tangan yang mendukung secara sistematis keinginan penjajah Indonesia untuk terus menjajah tanah Papua, mengeruk sumber-sumber daya alam tanah Papua.
Sungguh, kita selama ini menjadi bodoh, seperti bodohnya para gubernur, bupati, DPR, DPD dan para politisi yang sekolah tinggi-tinggi untuk menjadi budak terpelajar dari negara penjajah. Dan dengan sadar, ia benar-benar goblok untuk memilih menjalankan sistem yang menjajah kita rakyat Papua. Padahal, kita rakyat yang membiayai pendidikan mereka. Guru-guru Papualah yang mendidik mereka. Dan, akhirnya mereka malah balik menindas kita!
Kita jangan sebodoh mereka. Kita tidak seharusnya mempercayakan kepercayaan suci-murni kita kepada penjajah dan para budak penjajah itu untuk diperkosa lagi dan diperkosa lagi. Stop!
Atau kita ingin mengais secuil untung dari dinamika ini? Menjadi pendukung calon tertentu demi uang kampanye, menjadi pendukung Parpol tertentu demi uang? Mencoblos saat pemilihan untuk akhirnya menobatkan penjajah baru? Bila kau demikian, kau penghianat! Kita bangsa Papua bangsa yang beradab. Bila kita benar-benar salah satu dari bangsa Papua ini, kita pasti tidak memilih demikian.
Ingat. Selamanya, kita tak punya masa depan selama kita masih dalam pemerintahan para budak dari negara penjajah yang namanya Indonesia itu. Kita bahkan sedang menuju pemusnahan orang asli Papua selama kita bersama negara Indonesia. Sistem yang dijalankan negara penjajah ini menjajah.
Dalam pendidikan, sistem ini tidak memungkinkan orang Papua terpelajar dan paham situasi dan memberontaki. Sistem pendidikan kita saat ini hanya untuk menjadikan putera dan puteri kita sekrup-sekrup penguat sistem yang menjajah kita rakyat Papua.
Dalam kesehatan, sosial, budaya, sistem penjajahan membiarkan prostitusi/lokalisasi berkembang bebas di seantero Papua. HIV/AIDS berkembang pesat. Orang Papua setiap hari mati. Perusahaan semakin banyak. Dan para budak terdidik yang kita pilih setiap pemilihan itu tak mampu berbuat apa-apa. Mereka malah mendukung semua kebijakan menjajah itu.
MRP yang kita harapkan itu mati rasa. Ia memilih menjadi elit dengan produk ide, gagasan, kata-kata di media massa dan membatasi diri cukup di situ. MRP seperti tidak percaya pada massa aksi rakyat Papua dan bersama rakyat turun di jalanan dan mengawal setiap aspirasi masyarakat adat untuk disuarakan. MRP sebagai lembaga kultural terlalu penakut dan pecundang bahkan untuk bersama rakyat di jalan membeberkan dosa penjajah pada dunia.
Kita tak punya harapan hidup di dalam sistem penjajahan negara Indonesia di Papua melalui para budaknya itu. Dan kita jangan memilih cara goblok dengan menggantungkan hidup dan masa depan kita pada para budak penjajah di Papua yang bahkan tak bisa memutuskan bagi diri mereka sendiri untuk tidak menjadi budak penjajah, padahal mereka lebih terpelajar dan bergelar dibanding kita!
Para pemimpin yang sebenarnya membawa angin perubahan, memberi harapan dan masa depan yang lebih baik bagi kita segenap bangsa Papua Barat adalah para pimpinan perjuangan kemerdekaan kita. Mereka sudah bersatu dalam The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Dalamnya ada NRFPB, KNPB/PNWP dan WPNCL. Kita dukung mereka, bukan malah dukung para budak itu. Kemerdekaan adalah pintu gerbang dari indahnya harapan hidup yang lebih baik.
Karena selamanya, penjajah akan menjajah, selamanya, para budak akan tetap loyal melayani penjajah, selamanya, kitalah yang menanggung sengsara di atas tanah air kita sendiri. Tidak! Kita harus bebas. Kita harus merdeka! Kita harus memutus mata rantai penjajahan dan memilih Papua merdeka!
Ini yang harus kita pikir untuk bikin.
Pertama: Jujur dan dengan tidak takut-takut lagi katakan kepada siapa pun dia: kepada diri sendiri, orang tua, tetangga di sekitar kita, teman sepergaulan kita, kepada sesama orang asli Papua, kepada siapa pun dia, bahwa kita ingin Papua menjadi negara merdeka yang pisah dari negara penjajah yang namanya Indonesia ini. Kemerdekaan bangsa Papua adalah satu-satunya cara agar, satu: semua kekayaan alam kita, termasuk Freeport yang setiap hari produksi 8.000 ton emas itu, semuanya kita gunakan untuk rakyat Papua; kedua: tanah milik masyarakat adat Papua diakui kedaulatannya, sehingga negara penjajah dan kaki tangannya tak punya hak mencaplok tanah adat kita demi perusahaan atau demi kepentingan apa pun.
Kedua: Boikot setiap Pemilu yang ada di tanah Papua yang sifatnya mengisi kursi dalam sistem penjajahan negara Indonesia. Ingat selalu bahwa harapan hidup dan masa depan cerah hanya ada dalam kibaran Sang Bintang Kejora di atas tanah Papua, setelah kita menentukan kemerdekaan.
Ketiga: Agenda mendesak saat ini adalah turun jalan bersama barisan perlawanan pada 1 Mei 2015! Kau yang PNS, kau yang mahasiswa, pelajar dan pemuda-pemudi. Kau yang imam dan pendeta, kau yang petani dan nelayan. Pada 1 Mei 2015, tinggalkan semua pekerjaanmu. Bersama barisan perlawanan rakyat Papua dalam negeri, barisan para pemuda Komite Nasional Papua Barat (KNPB), AMP, kita turun ke jalan dan tunjukan pada semua manusia: Bangsa Papua sedang menatap merdeka!
Pada 1 Mei 2015lah, hai orang Papua, kau tunjukan bahwa kau berakal budi, punya marifat dan hikmat dengan cara berani memutuskan dan menaruh harapan hidup pada jalan kemerdekaan negara Papua Barat!
Penulis adalah Aktivis Papua Barat.
Para pejabat pemerintahan negara Indonesia di tanah Papua, mulai dari Gubernur, Kapolda Papua, pimpinan militer Indonesia di Papua, hingga kepala distrik dan desa, kepala polisi sektor, pimpinan aparat keamanan tingkat distrik dan kampung, merekalah para budak itu. Para budak itu juga adalah para politisi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat di pusat maupun daerah: tingkat provinsi dan kabupaten, para pejabat di lingkungan kabupaten dan provinsi, para pimpinan organisasi dan lembaga bikinan negara Indonesia.
Mereka itu adalah budak Indonesia. Tugas mereka melayani tuannya, negara Indonesia.
Ini yang ironis. Kita gantungkan detak nafas ini kepada kumpulan budak di tanah air Papua. Apa buktinya? Kita masih tetap dengan terus berharap perubahan dengan ikut memilih dan memberikan suara dalam pemilihan Gubernur dan wakil gubernur, Bupati dan wakil bupati, DPR di provinsi dan kabupaten/kota dan DPR pusat perwakilan Papua.
Orang Papua masih dan terus berharap kepada Lembaga Pengembangan Masyarakat Amugme dan Kamoro (LPMAK), dan berbagai program beasiswa khusus Papua lainnya akan mencerdaskan kehidupan orang Papua dan abai lihat pengabaian layanan pendidikan yang makin parah.
Orang Papua masih mengadu dan terus berharap kepada para polisi dan pemerintah daerah bahwa mereka akan menutup lokalisasi dan prostitusi berkedok karaoke, panti pijat, dll yang sudah terang-terangnya menyebar HIV/AIDS yang menghabiskan orang Papua.
Orang Papua masih berharap dan terus berharap pemerintah daerah akan mengeluarkan peraturan daerah (Perda) bahwa tanah adat adalah milik masyarakat adat, dan kedaulatan atas tanah tak dapat diganggu gugat oleh negara, bahkan koorporat asing yang ingin menambang atau mengeksploitasi sumber-sumber alam di atas tanah adat kita.
Orang Papua masih berharap gubernur Papua dan Papua Barat akan gratiskan pendidikan dari TK dan SD hingga SMA atau hingga selesai strata satu (S1), dengan alasan, emas Papua dari Tembagapura 8.000 ton per hari diproduksi dan sebenarnya biaya pendidikan seluruh anak usia sekolah di tanah Papua untuk satu semester misalnya, cukup dipenuhi hanya dari satu hari produksi emas di Freeport yang 8.000 ton emas itu. Belum tembaga. Belum uranium. Belum perak dan mineral lain dalam sehari produksi.
Orang Papua masih berharap kesehatan di Papua gratis dan semakin sedikit dengan setia memilih salah satu bakal calom bupati, gubernur, DPR, dll setiap pemilihan umum eksekutif maupun legislatif.
Hai orang Papua, kau sudah gila kah? Atau kesadaran kita sudah hilang kah?
Mereka itu budak negara Indonesia yang menjalankan sistem penjajahan di atas tanah air kita. Tugas para budak itu selamanya adalah melayani penjajah Indonesia sebagai tuannya. Bukan layani kau yang rakyat Papua itu. Sama sekali tidak. Mereka digaji penjajah dan bekerja untuk penjajah!
Siapa pun gubernur, bupati, DPR, DPD, kepala polisi, militer, bahkan mungkin walau dia keluarga dekat kita, om, bapade, atau sepupu, siapa pun dia, mereka itu tak akan mungkin menjawab semua kerinduan kita. Apa buktinya? Banyak!
Sejak 1969, rezim pemerintahan bergulir dan silih berganti, di ibukota kabupaten/provinsi, tak ada kios atau toko milik orang asli Papua. Benar to? Walau ada, hanya satu atau dua. Itu juga, pasti kalah dari para pemodal migran dan luar. Kenyataannya sudah seperti itu, masihkah kita berharap pemerintah daerah, orang-orang kita di Eksekutif dan Legislatif akan merubah nasib hidup kita? Ya jelas tidak! Mereka itu budak dan kaki tangan pemerintahan penjajah yang kita kenal sebagai negara Indonesia.
Kita masih bermimpi pendidikan dan kesehatan akan digratiskan. Itu kan sudah dijanjikan setiap calon kepala pemerintahan di kabupaten dan provinsi. Terealisasi? Ya tidak lah! Mengapa? Karena mereka tak punya cukup kuasa untuk bikin itu. Mereka itu hanya budak dan kaki tangan pemerintahan penjajah yang kita kenal sebagai negara Indonesia.
Kita masih bermimpi bahwa polisi di Papua akan menindak tegas para pebisnis prostitusi dan PSK yang menyebarkan HIV/AIDS hingga jumlah orang asli Papua berkurang; atau berharap peredaran minuman keras akan dikurangi? Ya jelas itu mimpi lah! Mengapa? Karena polisi Indonesia di Papua itu budak dan kaki tangan pemerintahan penjajah yang kita kenal sebagai negara Indonesia.
Kita berharap tanah air dan kekayaan alam kita tidak dieksploitasi lagi oleh perusahaan baik nasional, asing maupun multi national coorporation hingga hutan kayu, ladang sagu, tanah tanah keramat yang dilindungi sejak leluhur orang Papua itu tetap lestari dan orang Papua hidup aman? Ya jelas itu mimpi lah! Mengapa? Karena para budak di Papua itu, mereka tak punya kuasa membatasi jumlah perusahaan asing. Mengapa begitu? Ya jelas karena mereka itu budak atau kaki tangan dari pemerintahan penjajah yang namanya kita kenal sebagai negara Indonesia.
Gubernur, Polisi, bupati, DPR, DPD, mereka dibatasi oleh sistem yang mengikat. Misalnya, Gubernur tidak boleh bicara, "Saya ingin penghasilan Freeport Indonesia di Timika 80% masuk ke kas provinsi untuk bangun Papua karena itu adalah hasil dari tanah Papua". Bupati, DPR, DPD, mereka tak bisa bicara demikian. Mengapa? Mereka itu budak. Tugas budak adalah melayani sang tuan. Selamanya mereka tak akan peduli pada rakyat Papua.
Atau coba sebut, DPR, DPD, Gubernur dan Bupati mana di Papua yang benar-benar jadi penyambung lidah rakyat dan mengatakan kepada Indonesia bahwa mayoritas rakyat Papuanya menginginkan Papua Merdeka, saat sidang resmi? Tak ada. Mereka tak akan mungkin bicara soal Papua Merdeka walau itu suara mayoritas rakyat Papua. Mereka budak dan kaki tangan yang mendukung secara sistematis keinginan penjajah Indonesia untuk terus menjajah tanah Papua, mengeruk sumber-sumber daya alam tanah Papua.
Sungguh, kita selama ini menjadi bodoh, seperti bodohnya para gubernur, bupati, DPR, DPD dan para politisi yang sekolah tinggi-tinggi untuk menjadi budak terpelajar dari negara penjajah. Dan dengan sadar, ia benar-benar goblok untuk memilih menjalankan sistem yang menjajah kita rakyat Papua. Padahal, kita rakyat yang membiayai pendidikan mereka. Guru-guru Papualah yang mendidik mereka. Dan, akhirnya mereka malah balik menindas kita!
Kita jangan sebodoh mereka. Kita tidak seharusnya mempercayakan kepercayaan suci-murni kita kepada penjajah dan para budak penjajah itu untuk diperkosa lagi dan diperkosa lagi. Stop!
Atau kita ingin mengais secuil untung dari dinamika ini? Menjadi pendukung calon tertentu demi uang kampanye, menjadi pendukung Parpol tertentu demi uang? Mencoblos saat pemilihan untuk akhirnya menobatkan penjajah baru? Bila kau demikian, kau penghianat! Kita bangsa Papua bangsa yang beradab. Bila kita benar-benar salah satu dari bangsa Papua ini, kita pasti tidak memilih demikian.
Ingat. Selamanya, kita tak punya masa depan selama kita masih dalam pemerintahan para budak dari negara penjajah yang namanya Indonesia itu. Kita bahkan sedang menuju pemusnahan orang asli Papua selama kita bersama negara Indonesia. Sistem yang dijalankan negara penjajah ini menjajah.
Dalam pendidikan, sistem ini tidak memungkinkan orang Papua terpelajar dan paham situasi dan memberontaki. Sistem pendidikan kita saat ini hanya untuk menjadikan putera dan puteri kita sekrup-sekrup penguat sistem yang menjajah kita rakyat Papua.
Dalam kesehatan, sosial, budaya, sistem penjajahan membiarkan prostitusi/lokalisasi berkembang bebas di seantero Papua. HIV/AIDS berkembang pesat. Orang Papua setiap hari mati. Perusahaan semakin banyak. Dan para budak terdidik yang kita pilih setiap pemilihan itu tak mampu berbuat apa-apa. Mereka malah mendukung semua kebijakan menjajah itu.
MRP yang kita harapkan itu mati rasa. Ia memilih menjadi elit dengan produk ide, gagasan, kata-kata di media massa dan membatasi diri cukup di situ. MRP seperti tidak percaya pada massa aksi rakyat Papua dan bersama rakyat turun di jalanan dan mengawal setiap aspirasi masyarakat adat untuk disuarakan. MRP sebagai lembaga kultural terlalu penakut dan pecundang bahkan untuk bersama rakyat di jalan membeberkan dosa penjajah pada dunia.
Kita tak punya harapan hidup di dalam sistem penjajahan negara Indonesia di Papua melalui para budaknya itu. Dan kita jangan memilih cara goblok dengan menggantungkan hidup dan masa depan kita pada para budak penjajah di Papua yang bahkan tak bisa memutuskan bagi diri mereka sendiri untuk tidak menjadi budak penjajah, padahal mereka lebih terpelajar dan bergelar dibanding kita!
Para pemimpin yang sebenarnya membawa angin perubahan, memberi harapan dan masa depan yang lebih baik bagi kita segenap bangsa Papua Barat adalah para pimpinan perjuangan kemerdekaan kita. Mereka sudah bersatu dalam The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Dalamnya ada NRFPB, KNPB/PNWP dan WPNCL. Kita dukung mereka, bukan malah dukung para budak itu. Kemerdekaan adalah pintu gerbang dari indahnya harapan hidup yang lebih baik.
Karena selamanya, penjajah akan menjajah, selamanya, para budak akan tetap loyal melayani penjajah, selamanya, kitalah yang menanggung sengsara di atas tanah air kita sendiri. Tidak! Kita harus bebas. Kita harus merdeka! Kita harus memutus mata rantai penjajahan dan memilih Papua merdeka!
Ini yang harus kita pikir untuk bikin.
Pertama: Jujur dan dengan tidak takut-takut lagi katakan kepada siapa pun dia: kepada diri sendiri, orang tua, tetangga di sekitar kita, teman sepergaulan kita, kepada sesama orang asli Papua, kepada siapa pun dia, bahwa kita ingin Papua menjadi negara merdeka yang pisah dari negara penjajah yang namanya Indonesia ini. Kemerdekaan bangsa Papua adalah satu-satunya cara agar, satu: semua kekayaan alam kita, termasuk Freeport yang setiap hari produksi 8.000 ton emas itu, semuanya kita gunakan untuk rakyat Papua; kedua: tanah milik masyarakat adat Papua diakui kedaulatannya, sehingga negara penjajah dan kaki tangannya tak punya hak mencaplok tanah adat kita demi perusahaan atau demi kepentingan apa pun.
Kedua: Boikot setiap Pemilu yang ada di tanah Papua yang sifatnya mengisi kursi dalam sistem penjajahan negara Indonesia. Ingat selalu bahwa harapan hidup dan masa depan cerah hanya ada dalam kibaran Sang Bintang Kejora di atas tanah Papua, setelah kita menentukan kemerdekaan.
Ketiga: Agenda mendesak saat ini adalah turun jalan bersama barisan perlawanan pada 1 Mei 2015! Kau yang PNS, kau yang mahasiswa, pelajar dan pemuda-pemudi. Kau yang imam dan pendeta, kau yang petani dan nelayan. Pada 1 Mei 2015, tinggalkan semua pekerjaanmu. Bersama barisan perlawanan rakyat Papua dalam negeri, barisan para pemuda Komite Nasional Papua Barat (KNPB), AMP, kita turun ke jalan dan tunjukan pada semua manusia: Bangsa Papua sedang menatap merdeka!
Pada 1 Mei 2015lah, hai orang Papua, kau tunjukan bahwa kau berakal budi, punya marifat dan hikmat dengan cara berani memutuskan dan menaruh harapan hidup pada jalan kemerdekaan negara Papua Barat!
Penulis adalah Aktivis Papua Barat.
Tulisan ini pernah di muat di majalahselangkah.com dan sangat
penting untuk kita aktivis mahasiswa dan pelajar Papua Merdeka. Tulisan ini
juga di muat kembali di blog ini atas dasar ijin penulis sendiri.
Salam Satu
Tanah Air
0 komentar:
Post a Comment