Pengantar
Di Papua Barat akhir-akhir ini diberitakan terjadi berbagai kekerasan negara yang berakhir dengan pelanggaran hak asasi manusia sebagai respon terhadap berbagai aksi yang dilakukan rakyat Papua Barat untuk menuntut PAPUA BARAT MERDEKA. Aksi-aksi tersebut sebagai protes terhadap pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri yang melibatkan masyarakat internasional. Suatu sikap yang menurut rakyat dapat mengakhiri penindasan di tanah Papua serta tindakan untuk menyelamatkan bangsa Papua dari suatu proses pemusnahan. Mulai dari kasus ‘Biak Berdarah Juli 1998’, ‘Insiden Merauke Oktober 1999’, ‘Timika Berdarah Desember 1999’, ‘Insiden Nabire Februari/Maret 2000’, sampai dengan ‘Peristiwa Wayati Fakfak Maret 2000’ serta ‘Insiden Sorong Agustus 2000’ (dan tentu saja masih akan terjadi peristiwa-peristiwa berdarah serupa di waktu-waktu ke depan jikalau situasi ini tidak berubah). Puluhan orang telah dibunuh, ratusan ditahan secara sewenang-wenang dan disiksa serta belasan lainnya dinyatakan hilang. Itu semua bukan ceritra baru. Pengalaman selama 38 tahun (1963 – 2000) integrasi dengan Republik Indonesia dengan berbagai operasi militer yang dilakukan telah berakhir dengan ribuan orang Papua dibantai, ditangkap dan dipenjara secara sewenang-wenang dan disiksa, perempuan-perempuan diperkosa. Semua ‘Crime Against Humanity in West Papua’ itu dibuat demi Persatuan Nasional dan Pembangunan.
Di Papua Barat akhir-akhir ini diberitakan terjadi berbagai kekerasan negara yang berakhir dengan pelanggaran hak asasi manusia sebagai respon terhadap berbagai aksi yang dilakukan rakyat Papua Barat untuk menuntut PAPUA BARAT MERDEKA. Aksi-aksi tersebut sebagai protes terhadap pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri yang melibatkan masyarakat internasional. Suatu sikap yang menurut rakyat dapat mengakhiri penindasan di tanah Papua serta tindakan untuk menyelamatkan bangsa Papua dari suatu proses pemusnahan. Mulai dari kasus ‘Biak Berdarah Juli 1998’, ‘Insiden Merauke Oktober 1999’, ‘Timika Berdarah Desember 1999’, ‘Insiden Nabire Februari/Maret 2000’, sampai dengan ‘Peristiwa Wayati Fakfak Maret 2000’ serta ‘Insiden Sorong Agustus 2000’ (dan tentu saja masih akan terjadi peristiwa-peristiwa berdarah serupa di waktu-waktu ke depan jikalau situasi ini tidak berubah). Puluhan orang telah dibunuh, ratusan ditahan secara sewenang-wenang dan disiksa serta belasan lainnya dinyatakan hilang. Itu semua bukan ceritra baru. Pengalaman selama 38 tahun (1963 – 2000) integrasi dengan Republik Indonesia dengan berbagai operasi militer yang dilakukan telah berakhir dengan ribuan orang Papua dibantai, ditangkap dan dipenjara secara sewenang-wenang dan disiksa, perempuan-perempuan diperkosa. Semua ‘Crime Against Humanity in West Papua’ itu dibuat demi Persatuan Nasional dan Pembangunan.
Paper
ini akan mencoba menjawab sejumlah pertanyaan menyangkut mengapa ada
terjadi terus ‘Crime Against Humanity in West Papua’, Implikasi yang ditimbulkan terhadap rakyat
dan mengajukan beberapa rekomendasi pemecahan.
Persepsi Nasional
tentang Papua Barat
Kebijakan apapun
yang diambil oleh suatu pemerintah di manapun di dunia ini terhadap
suatu kelompok masyarakat yang dikuasai tidak terlepas dari PERSEPSI
yang ada pada si penguasa. Persepsi itu terbangun dari latar belakang
kebudayaan, sejarah dan keinginan-keinginan juga kekhawatiran-kekhawatiran
bagaimana kelompok masayarakat yang ditargetkan itu mesti diatur.
Frantz Fannon, Seorang psikiater asal Caribia yang kemudian mendukung
perjuangan kemerdekaan rakyat Aljazair dari penjajah
Perancis berpendapat bahwa penjajahan didukung oleh teori-teori
kebudayaan yang rasialis. Kaum penjajah beranggapan bahwa kelompok
masyarakat yang dijajah tidak berkebudayaan atau kebudayaannya rendah
dan oleh karena itu berbagai kebijakan dilakukan untuk memperadabkan
sekaligus menaklukkan kelompok masyarakat tersebut.
Dalam kaitan masalah Crime
Against Humanity in West Papua tidak bisa dilihat lepas dari suatu PERSEPSI PEMERINTAH INDONESIA terhadap rakyat dan tanah
Papua Barat. Pemerintah Indonesia memandang Papua Barat adalah wilayah integral dari
Indonesia yang telah direbut dengan
darah melalui Komando Trikora di bawah pimpinan Jenderal Soeharto,
mantan presiden RI yang otoriter. Papua Barat juga dilihat sebagai
wilayah yang kaya akan sumber daya alam, dapur masa depan Indonesia. Dalam suatu ceramah di
Aula Universitas Cenderawasih di Jayapura tahun 1983 Ali Murtopo, mantan
menteri Penerangan pada waktu itu mengatakan: “Irian Jaya adalah dapur
masa depan Indonesia”. Tetapi Pa pua Barat juga dipandang
sebagai wilayah di mana berlangsung apa yang oleh Jakarta disebut sebagai ‘Gerakan
Separatis’ yang dapat membahayakan persatuan bangsa. Penduduk asli,
bangsa Papua, di wilayah ini dipandang sebagai ‘primitif’ dan
terbelakang sehingga mereka mesti diperadabkan.
Persepsi pemerintah
tersebut mendasari lahirnya dua kebijakan utama dalam
menangani Papua Barat, yaitu militerisme dan kebijakan-kebijakan
pembangunan (transmigrasi, keluarga berencana, turisme, pertambangan,
pertanian, dll). Semua itu dilakukan demi persatuan nasional dan
pembangunan. Kebijakan-kebijakan ini selanjutnya “melegalkan” terjadinya
‘Crime Against Humanity in West Papua dewasa ini.
Perang terhadap
Orang Papua dan Implikasinya: Jiwa yang Patah
Sejak integrasi Papua
Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1963 “perang” pun digelar melawan
bangsa Papua. Gerakan Papua merdeka (OPM) menjadi alasan bagi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) – sekarang TNI pisah dari POLRI,
untuk melancarkan operasi-operasi militer di berbagai wilayah di Papua
Barat. Secara garis besar akan digambarkan beberapa peristiwa besar yang
telah berakibat terhadap terjadinya ‘Crime Against Humanity in West Papua’:
Periode 1963 –
1969
Masa transisi di mana
sesudah kedaulatan Papua Barat, berdasarkan New York Agreement 15
Agustus 1962, dilimpahkan dari Pemerintah Belanda ke Pemerintah
Indonesia dan persiapan menuju ke apa yang disebut “Act of Free Choice”
pada tahun 1969. Pada masa ini pemerintah dan angkatan bersenjata
Republik Indonesia memasukkan ribuan aparat keamanan dan petugas-petugas
pemerintah untuk memastikan bahwa rakyat Papua Barat menjadi bagian
integral dari Republik Indonesia bilamana ‘Act of Free Choice’ terjadi.
Rakyat diintimidasi, terjadinya penangkapan dan penahanan di luar hukum,
pembunuhan-pembunuhan. Akibatnya hanya 1025 saja dari total 800.000
rakyat Papua waktu itu yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia untuk secara terpaksa
memilih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Periode 1970 – 1984
Perlawanan rakyat Papua
yang memprotes hasil ‘Act of Free Choice’
dalam bentuk berdirinya ‘Organisasi Papua Merdeka’ (OPM) menjastifikasi
berlangsungnya operasi-operasi militer di wilayah-wilayah yang
diidentifikasi sebagai kantong-kantong gerakan OPM. Ribuan pasukan
militer diturunkan di wilayah-wilayah tersebut, kebebasan rakyat
dipasung dan pembantaian terhadap rakyat pun digelar. Operasi-operasi
militer tersebut antara lain: Kasus Biak (1970/1980); Kasus Wamena
(1977) dan Kasus Jayapura (1970/1980). Kasus 1984 di mana Arnold C. Ap
dan Eduard Mofu, dua seniman Papua dibunuh dan 12 000 penduduk
kemudian mengungsi ke Papua New Guinea.
Periode 1985 – 1995
Operasi militer untuk
menumpas OPM terus dilancarkan aparat keamanan, terutama di kawasan
pegunungan tengah Papua Barat. Dari semua peristiwa yang terjadi ‘Kasus
Timika 1994/1995’ yang melibatkan PT. Freeport Indonesia yang dilaporkan
Keuskupan Gereja Katolik Jayapura di mana 16 orang dibunuh, 4 orang
hilang dan puluhan lainnya ditahan dan disiksa serta 5 perempuan ditahan
dan diperkosa.
Periode 1996 – 1998
Operasi militer menumpas
OPM pimpinan Kelly Kwalik yang menyandera para ilmuwan barat di wilayah
Mapnduma, Pegunungan Tengah Papua Barat dalam jangka waktu 1996 – 1998.
Menurut ELS-HAM Papua Barat (Mei 1998) Drama penyanderaan ini menjadi
alasan bagi pihak militer Indonesia untuk kemudian melanarkan operasi
militer baik pada masa penyanderaan, operasi pembebasan sandera dan
pasca pembebasan sandera di mana sekitar 35 penduduk sipil dibunuh, 13
perempuan diperkosa, 166 rumah penduduk dan 13 gereja (Gereja Kemah
Injil Indonesia) dibakar musnah.
Periode 1998 – 2000
Sejak tumbangnya Presiden
Suharto pada bulan Mei 1998 berbagai tindak kekerasan dilakukan oleh
aparat keamanan terhadap rakyat Papua Barat yang melakukan hak kebebasan
berekspresi dengan berdemonstrasi dan mengibarkan bendera Papua Barat
(Bintang Fajar) di berbagai kota di Papua Barat.
Berbagai ‘Crime
Against Humanity in West Papua’ tersebut mempunyai implikasi baik psikologis, social, budaya
and ekonomi terhadap diri bangsa Papua. Mereka mengalami Jiwa yang Patah
(hilang percaya diri, frustrasi, apatis, mengendapkan dendam dan
kebencian yang mendalam terhadap pihak yang membuat mereka
menderita). Secara social rakyat terpecah belah dan saling tidak percaya
satu sama lain. Suatu kenyataan yang, selain berbagai factor lainnya,
juga melatar-belakangi mengapa rakyat Papua dewasa ini menuntut untuk
melepaskan diri dari Negara Kesatun Republik Indonesia sebagai bangsa yang
merdeka.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Masalah ‘Crime Against
Humanity in West
Papua’ pada
dasarnya terjadi karena ada suatu persepsi nasional yang bersifat rasis,
eksklusif dan penuh kecurigaan terhadap keberadaan orang Papua. Persatuan
nasional dan pembangunan telah menjadi dalih yang sangat kuat untuk
lahirnya militerisme di Papua Barat yang telah menyebabkan terjadinya
‘Crime Against Humanity’. Semua ‘Crime Against Humanity in
West Papua’ telah menyebabkan
terjadinya rakyat Papua yang mengalami ‘A Broken Soul’.
Pemerintah dan seluruh
rakyat Indonesia mesti membebaskan diri
dari pandangan rasis, eksklusif dan curiga terhadap orang Papua. Orang
Papua mesti diakui sebagai suatu kelompok masyarakat yang secara ras
berbe da dengan bangsa Indonesia lainnya serta mesti diterima sejajar dengan yang lainnya.
Pendekatan militer di Papua
Barat mesti segera diakhiri karena telah menyebabkan terjadinya
berbagai ‘Crime Against Humanity’ dan jikalau terus dipertahankan untuk
menangani masalah Papua Barat dewasa ini justru akan menimbulkan
masalah-masalah baru yang rumit dan sulit untuk diselesaikan.
Pemerintah Indonesia mesti
memiliki kemauan politik yang sungguh-sungguh dan didukung oleh semua
pihak untuk mempertanggungjawabkan berbagai ‘Crime Against Humanity’
dengan membawa keadilan remedy kepada rakyat Papua Barat, Rekonsiliasi
dan Perdamaian. Justice ini penting untuk memulihkan secara psikologis
penderitaan korban atau keluarga korban selama bertahun-tahaun mengalami
penderitaan, tetapi juga sebagai proses law enforcement, menanamkan
kultur supremasi hokum di atas segala kepentingan.
Proses rehabilitasi,
terutama healing proscess melalui berbagai bentuk kegiatan untuk
membebaskan rakyat secara psikologis dari beban trauma, dendam dan
kebencian yang diendapkan dari pengalaman buruk yang dialami.
Membangun kultur
penghormatan terhadap hak asasi manusia dan demokrasi melalui berbagai
bentuk pendidikan HAM dan Demokrasi-
0 komentar:
Post a Comment