“STOP PERAMPASAN TANAH & TARIK MILITER DARI PAPUA”


Solidaritas Untuk Papua: MENGECAM
“STOP PERAMPASAN TANAH & TARIK MILITER DARI PANIAI PAPUA”
(Umagi) - Puluhan massa Masyarakat dan Mahasiswa/i, yang berdomisili berstudy Yogyakarta tergabung dalam “FNM, AMP dan GP3-PB” Solidaritas Untuk Papua (SUP) melakukan aksi long march dari parkir Abu Bakar Ali, kantor DPRD DIY, komplek Kepatihan hingga kawasan titik nol Yogyakarta, Senin (26/2012). Mengecam Perampasan Tanah & Stop Kekerasan Militer Terhadap rakyat Papua Paniai di Papua dan Tarik militer dari Pulau Papua. Hentikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh oknum TNI/Polri di tanah Papua dan menimbulkan Jutaan korban jiwa Tidak berdoasa di Tanah Papua Barat Sampai saat ini di kabupaten Paniai, Puncak Jaya dan Papua Lainnya.
militer telah membangun Pos-pos dan jadikan tempat trsebut tempat operasi gabungan dari setiap satuan yang ada di papu. tanah adat dijadikan sebagai Tanah milik Negara sehingga TNi/POLRI berhak melakukan penduduk bahkan mobilisisasi militer dalam kesatuan besar untuk menumpas masyarakat yang berseragam Ideologi NKRI. berdasarkan data yang kami terima dari lapangan bahwa tempat dimana terjadinya suatu operasi militer tersebut akan dijadikan sebagai tempat mobilisasi Operasi militer (mendirikan Batalyon) dan diseluruh papuaakan didirikan sebanyak 15 batalyon, semuanya untuk menuntas bagi warga negara yang berseberangan ideologi Keutuhan NKRI Harga mati.

‘Koordinator umum lapangan (korlap), Sonny Detto menyampaikan, beroperasinya perusahan-perusahan skala besar maupun Kecil Ilegal/non ilegal di Papua seperti Freeport, Timika, Miffe Di Merauke MANSETT DI Paniai Komopa dan masih Banyak lainnya tetap mengambil peran atas terjadinya pelanggaran HAM. Bahkan tuntutan masyarakat atas perlakuan tidak adil dijawab dengan kehadiran aparat keamanan melalui pendekatan militeristik yang tidak mencerminkan Rakyat Papua. Negara Indonesia sebagai Negara berhukum. hukum hanya diatas kertas.

*Dampak terjadi mobilisasi besar militer Indonesia di wilayah Adat Suku Mee kabupaten Paniai memberikan dampak negatif bagi masyarakat adat setempat. akibat terjadi pengusiran dan trauma yang berkepanjangan, sekolah-sekolah tidak dapat berjalan sebagaimana; mestinya.ekonomi masyarakat adat sempat terganggu; pelayanan publik terusik, rasa ketakutan masyarakat adat setempat semakin tinggi. karena militer (TNI-POLRI) setiap hari melakukan operasi sweeping dari kampung ke kampun, rumah ke rumah di sekitar Pinggiran Wegeuto, yang di curigai dilakukan pengeledahan terhadap badan, untuk memastikan ada atau tidak senjata api, selongsong senjata berdering di telinga, memang situasinya dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) diwilayah setempat"
"Seperti yang dilakukan aparat TNI/Polri terhadap Masyarakat Paniai Papua, sumber dari gereja menyebutkan bahwa hingga kini warga harus mengungsi, karena terjadi perampasan Tanah perampasan Hak Hidup, dan menelan korban Tempat tinggal (Rumah ) mereka di bakar, Tanaman Pohon mereka di tebang sensor tanpa di ketahui Pemilih Tanah adat setempat guna membangun pos-pos (Camp) TNI POLRI. Masyarakat setempat takut dan trauma kembali. Mereka melihat dan Menyaksikan Bunyi Tembakan Akibat dari itu Penggungsian ke tempat lain mengakibatkan Korban jiwa:
Berikut nama-nama warga yang tewas akibat tertembak dalam insiden di Paniai :

Tapupai Gobay (30)
Tawe Bunai Awe (30)
Uwi Gobay (35)
Wate Nawipa (25)
Martinus Gobay (29)
Owdei Yeimo (35)
Ruben Gobay (25)
Paul Gobay (42)
Bernadus Yogi (23)
Demianus Yogi (15)
Simon Kogoya (40)
Simon Yogi (30)
Luke Kudiai (25)
Alfius Magai (20)
Terluka :Paschal Kudiai (15)
 Martinus Kudiai (30)
David Mote (40)
was Amandus Kudiai (43)
Yohan Yogi (21)
Mon Yogi (20)

Sikap yang dimunculkan aparat tersebut jelas tidak mencerminkan Indonesia sebagai negara hukum tetapi justru menggunakan pendekatan kekerasan," ujarnya.

Kekerasan dan tindakan pelanggaran HAM ini, lanjutnya, dianggap telah menyakiti hati rakyat Papua sebagai Manusia Ciptaan MAhakuasa. Karena hanya demi vestasi asing aparat TNI/Polri dengan kejam membunuh rakyat Papua. Hal ini juga semakin membuktikan bahwa watak rezim SBY-Boediono merupakan anti demokrasi dan anti terhadap HAM.

Cerita tentang korban kekerasan aparat keamanan terhadap warga sipil di negara ini cukup banyak. Bahkan tak terhitung jumlahnya dan tak terdata dengan baik. Setiap daerah di Indonesia pasti ada cerita penyiksaan aparat keamanan yang sungguh tidak manusiawi. Aparat keamanan yang katanya pengayom dan pelindung rakyat, justru menjadi penyiksa, pemerkosa dan pembunuh rakyat. Militer bukan lagi Tentara Rakyat. Dari sisi militer, dwifunsi ABRI hanya memberikan legitimasi kepada TNI untuk berpolitik dan menjarah seluruh ruang-ruang kehidupan sipil.

Selain itu, akibat dari dwifunsi itu melahirkan penderitaan dan kesengsaraan bagi rakyat. Kita kenal banyak orang mati dibantai dalam peristiwa G30-S/PKI, Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Maluku Pencaplokan Timor-Timur dan Papua Barat. Banyak orang telah menjadi korban penculikan, penyiksaan, penghilangan paksa, pemenjaraan, dan juga perempuan-perempuan menjadi korban perkosaan. Para petani digusur tanahnya dan mereka mengalami ancaman teror dan intimidasi oleh aparat keamanan.
Sejarah kekerasan aparat keamanan khususnya terhadap rakyat Papua Barat telah dimulai sejak Papua Barat diintegrasikan secara paksa ke dalam Indonesia Pada Tahun 1963. sekitar pada tahun 2000, ELS-HAM Papua melaporkan korban kekerasan aparat keamanan di sebagai wilayah di Papua Barat.
Kabupaten Paniai antara tahun (1968-1998) tercatat meninggal 614, hilang 13, diperkosa 94;
Kabupaten Biak (1962-1972 dan 1998) meninggal 102, hilang 3, dianiaya 37, ditahan 150;
Kabupaten Wamena (1977), Kecamatan Kelila 201 orang tewas, Kecamatan Asologaima 126 orang tewas, Kecematan Wosi 148 orang tewas;
Kabupaten Sorong (1965-1999) meninggal 60 orang, hilang 5 orang, diperkosa 7 orang; dan
Kabupaten Jayawijaya (1996-1998) meninggal 137 orang, hilang 2 orang, diperkosa 10 orang, diniaya 3 orang, di bakar 13 gereja, 13 kampung, 166 rumah dan 29 rumah bujang serta
kabupaten lainnya masih belum terdata dengan baik.

Data lain menyebutkan bahwa pada tahun 1969 seorang kepala sekolah perempuan di Sarmi bernama Ester Yanteo ditelanjangani serta di alat kemaluannya dibakar dengan api rokok. Jemburwo, aparat keamanan memerkosa para wanita. Aparat keamanan memasukan pasir ke dalam alat kemaluan para perempuan serta dimasukan ke dalam karung dan kemudian di ceburkan kedalam laut.

Tahun 1968, 162 orang penduduk Arfak tewas di bunuh aparat keamanan , 28 penggunsi yang sedang berusaha kembali dibunuh oleh aparat keamanan. Tahun 1970 sebelum perlakuan buruk terhadap 80 wanita dan anak-ank terjadi seorang wanita yang sedang hamil bernama, Maria Bonspia, di tembak mati oleh aparat keamanan dan bayinya dikeluarkan dari perutnya dan dipotong. Saudara perempuan wanita itu diperkosa dan dibunuh oleh sekelompok aparat keamanan Indonesia.

Rakyat Papua selanjutnya mendengatar tentang adanya pembantaian 500 penduduk desa di daerah Lereh. Pada tahun 1970, sejumlah pemimpin desa ditangkap dan dimasukan dalam helihkopter. Mereka belum pernah naik pesawat dan sangat ketakutan. Helicopter-helikopter tersebut lepas landas dan terbang melintasi perbukitan setempat dan mereka dibuang dari ketinggian 300 meter hingga mati tulang belulang. Pada tahun 1977, pihak aparat keamanan Indonesia menindas secara keras setiap bentuk perlawanan masyarakat. Seorang wartawam Australia ketika memasuki suatu daerah diberitahu oleh seorang pegawai pemerintah bahwa 900 warga yang melawan telah di bunuh oleh aparat keamanan. KOMPAS sebuah harian terkemuka di Jakarta, memberitakan bahwa sungai Baliem dipenuhi oleh jasat manusia. Pada tahun 1981, 30.000 lebih orang di bunuh di tanah Papua.
Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay hari Sabtu, 10 November 2001 diculik. Esok harinya, ia ditemukan telah tewas di Koya tengah, Kecamatan Muara Tami, Kabupaten Jayapura. Jenazah Theys ditemukan tertelungkup di jok mobil Toyota Kijang dengan wajah babak belur dan luka di pelipis, dahi, dan leher (2001), Data-data kekerasan aparat keamanan Indonesia (2000-2006) belum terdata dengan baik.

Hingga pada kasus penembakan aparat militer dan kepolisian terhadap penambangan emas tradisional di sekitar areal PT Freeport Indonesia pada Kamis, 24 Mei 2007 pukul 17.00 waktu Papua Barat. Empat orang tertembak mati adalah (1) Daro Tabuni, (2) Head Tinal, (3) Stefanus Songgonau, dan (4) Anton Jikwa. Sementara itu, tiga orang yang masuk rumah sakit belum teridentifikasi identitasnya. Wamena Kasus penembakan terhadap Opinus Tabuni 9 Agustus 2008. Jayapura kasus Penembakan Mahasiswa Menjelang Pemilu 2009 Erik Logo (paha dan bagian perut/meninggal dunia, F. Mabel (meninggal dunia).

Video kekerasan Penyiksaan Warga Sipil Puncak Jaya rekaman situs Youtube adalah aknum Anggota Tentara (22/10) Jakarta (voa-islam.com) korban tersebut sudah meninggal Komnas Ham di Papua (12/10).

Kabupaten Dogiyai (13 April 2011) Polisi mengeluarkan tembakan yang ditujuakan kepada rakyat sipil hasil dua warga sipil masing-masing Dominikus Auwe (27) dan Aloysius Waine (25) tewas terkena proyektil.

Akibat tindakan brutal aparat kepolisian tersebut, menelan korban seorang buruh yang tertembak dibagian dada kirinya hingga meninggal dan melukai 2 orang buruh yang terkena peluru karet di bagian punggung serta 2 orang lainnya terluka dibagian kepala akibat pukulan, serta korban lainnya yang juga mengalami luka.
Jayapura penembakan brutal Konggres Papua III 19 Oktober Korban tewas:
1. James Gobay (25),
2. Yosaphat Yogi (28).
3. Daniel Kadepa (25).
4. Maxsasa Yewi (35).
5. Yacob Samonsabra (53).
6. Pilatus Wetipo (40).
Korban luka :
1. Ana Adi (40).
2. Miler Hubi (22).
3. Matias Maidepa ( 25).
Diperkirakan sekitar 380 orang ditangkap (360 orang berdasarkan pengakuan Kapolresta kepada tim Kontra pada 25 Oktober).
Penangkapan dilakukan oleh anggota polisi didalam lapangan sepak bola Zakeus Jayapura Papua (2011).


"Karena itu kami menuntut, tarik militer dari Paniai Papua, hentikan pelanggaran HAM di Paniai dan Papua umunya; dari sorong sampai Merauke. dan usut tuntas pelanggaran HAM di Papua. Kami juga meminta agar SBY-Boediono bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang terjadi. Serta Jaminan keamanan Bagi rakyat Papua Paniai untuk kembali menempati tempat tinggal mereka. dan memberikan ruang demokrasi seluas-luasnya bagi rakyat Papua Barat"** UMAGI>



Press Release


Sejak pemerintahan Soekarno, berganti kepada pemerintahan Orde Baru tidak luput dari memori masyarakat, mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia akan kediktatorannya. Gema reformasi 1998 memberikan angin segar bagi seluruh rakyat Indonesia atas militeristik kala itu. Pemerintahan pun berganti hingga pada kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai penggerak Ham dan Demokrasi di Indonesia, lengkap sudah kepemimpinannya selama dua periode menjadi orang nomor satu di Republik ini. Dalam kepemimpinan tidak luput dari memori militerismenya, memang SBY adalah mantan panglima di Republik ini kemudian karirnya beralih ke dunia Politik.
Seiring dengan berkembangnnya zaman, pemerintahan SBY memaksa rakyatnya untuk mematuhi aturan sesuai hukum yang berlaku, karena memang Indonesia menganut sistem pemerintahan berdasarkan Hukum. Oleh karenanya, siapapun yang melanggar hukum harus berhadapan dengan hukum, atas dasar itu aparat militer (TNI/POLRI serta Gabungan lainnya) melakukan upaya-upaya represif atas sejumlah kecurigaan bahwa masyarakat setempat (Paniai) melakukan kegiatan yang membahayakan negara dalam keutuhan NKRI, sejumlah kebijakan untuk mengamankan wilayah tersebut dilakukan dalam operasi-operasi terbatas dan bahkan skala besar.

Upaya pengamanan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya sendiri telah terjadi seantero nusantara, misalnya kasus Mesuji, Bima NTB, Perusahaan dengan Masyarakat pemilik tanah adat, hingga pada kasus yang kini terjadi di Kabupaten Paniai telah menggemparkan dunia Internasional.

Dampak dari operasi militer yang dilakukan oleh aparat atas kecurigaan-kecurigaan terhadap rakyatnya sendiri telah menanam imeg bahwa aparat tidak lagi memberikan perlindungan terhadap rakyatnya malahan membunuh rakyatnya sendiri atas dasar kecurigaan yang tidak masuk akal. Sepak terjang antara militer dan masyarakat adat koteka di suku Mee tersebut mencoreng nama SBY sebagai juara Penegakan Ham dan Demokrasi di negeri ini.

Operasi militer tersebut membawa dampak kerugian yang cukup besar bagi masyarakat adat setempat, yang menghuni di desa Wagamo Eduda Paniai kini melakukan pengungsian bersar-besaran. Aparat militer (TNI/POLRI) yang melakukan operasi tersebut bukan hanya membuat masyarakat adat setempat merasa ketakutan namun Militer telah mengusir Kampung-Kampung (Desa) tempat masyarakat adat setempat, setelah dilakukan pengusiran serta penangkapan sewenang-wenang atas kecurigaan yang tidak logis.

Militer (TNI/POLRI) telah membangun Camp-Camp dan dijadikan tempat tersebut sebagai tempat operasi gabungan dari setiap kesatuan yang ada di sana. Tanah adat dijadikan sebagai Tanah milik negara sehingga TNI/POLRI berhak melakukan pendudukan bahkan mobilisasi militer dalam kekuatan besar untuk menumpas masyarakat yang berseberangan ideologi NKRI.

Berdasarkan data yang kami dapat dilapangan bahwa tempat dimana terjadinya suatu operasi militer tersebut akan dijadikan sebagai tempat mobilisasi para militer (mendirikan Batalyon), dan di seluruh Papua akan mendirikan sebanya 15 Batalyon, semuanya untuk menuntas bagi warga negara yang berseberangan indeologi keutuhan NKRI harga mati.
Dampak terjadinya mobilisasi besar para militer di wilayah Masyarakat Adat Suku Mee kabupaten Paniai memberikan dampak negatif bagi masyarakat adat setempat. Akibatnay terjadi pengusiran dan trauma yang berkepanjangan, sekolah-sekolah tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, ekonomi masyarakat adat setempat terganggu, pelayanan publik terusik, merasa ketakutan oleh masyarakat adat setempat semakin tinggi.
Karena para militer (TNI/POLRI) setiap hari melakukan operasi sweping dari kampung ke kampuung, rumah ke rumah, setiap masyarakat yang mencurigai melakukan penggeledahan terhadap badan mereka bahkan penangkapan sewenang-wenang, yang lebih fatalnya lagi adalah setiap dalam operasi penembakan bunyi selongsong senjata berdering di telinga, memang situasinya benar-benar dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) wilayah setempat.

Sumber dari gereja menyebutkan bahwa hingga kini warga terus mengungsi ke Enarotali untuk mencari perlindungan. Walaupun polisi telah mendirikan pusat perawatan, namun pusat perawatan tersebut diawasi dengan sangat ketat. Warga dilarang meninggalkan bantuan makanan bagi keluarga mereka di pusat perawatan tersebut. Tiga warga dilaporkan telah meninggal di pusat perawatan tersebut. Aktivis Kemanusiaan lokal setempat juga melaporkan bahwa penduduk lokal sedang terancam penahanan dan pemukulan jika mereka mencoba memberikan bantuan kemanusiaan pada orang-orang yang ditahan paska operasi militer tersebut.

Berikut nama-nama warga yang tewas akibat tertembak dalam operasi di Paniai: Tapupai Gobay (30),
Tawe Bunai Awe (30),
Uwi Gobay (35),
Wate Nawipa (25),
Martinus Gobay (29),
Owdei Yeimo (35),
Ruben Gobay (25),
Paul Gobay (42),
Bernadus Yogi (23),
Demianus Yogi (15),
Simon Kogoya (40),
Simon Yogi (30),
Luke Kudiai (25),
Alfius Magai (20).
Terluka: Paschal Kudiai (15),
Martinus Kudiai (30),
David Mote (40),
Amandus Kudiai (43),
Yohan Yogi (21),
Mon Yogi (20),
Tiga orang yang meninggal di pusat perawatan:
OTOLINCEA DEGEI (2), YULIMINA GOBAI (4), dan ANNA DEGEI Age (47).

Sesuai dengan laporan yang kami dapat dari lapangan menyebutkan bahwa militer telah membangun Posko-posko di lima Desa yaitu; Desa Dagouto, Desa Uwamani, Desa Badauwo, Desa Yagiyo, dan Desa Eduda, masyarakat adaat yang diwilayah itu telah diusir atas dasar operasi militer akan berlanjut.

Dalam operasi penumpasan tersebut sepenuhnya dibiayai oleh salah satu perusahaan tambang emas asal Australia yang baru hendak beroperasi di wilayah adat masyarakat setempat, serta didukung oleh Bupati Kabupaten Paniai. Para pihak beranggapan bahwa Paniai tidak aman untuk mengembangkan pertambangan skala besar karena kondisi keamanan terganggu akibat aksi-aksi pemberontak, serta alasan lainnya masyarakat adat setempat enggan memberikan tanah adatnya untuk dijadikan sebagai operasi pertambangan di wilayah itu. Alasan- Alasan tersebut menjadi dasar bagi militer untuk dilakukannya suatu operasi hingga terjadinya suatu pelanggaran Hak Asasi Masyarakat Adat setempat.

Oleh karenanya, kami dari Solidaritas Untuk Papua (SUP) menyatakan sikap :

“ HENTIKAN PERAMPASAN TANAH DAN KEKERAN MITER DI TANAH PAPUA
1. Hentikan Kekerasan Militer Indonesia di seluruh Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Paniai,

2. Hentikan perampasan Tanah rakyat di Kabupaten Paniai,

3. Tarik Militer Organik dan Non-Organik dari Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Paniai,
4. SBY– Boediono HARUS bertanggung jawab atas tindakan kekerasan Militer Indonesia di Papua, khususnya di Kabupaten Paniai, dan

5. Berikan jaminan keamanan bagi Rakyat Paniai untuk kembali menempati tempat tinggal mereka.

Demikian pernyataan ini dibuat, atas perhatian dan kerja samanya kami mengucapkan terima kasih.


Yogyakarta, 26 Januari 2012


Hormat Kami

Koordinator Umum


Roy Wene
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar: