Ilustrasi. dok. satuharapan.com |
Melbourne, - Sebuah novel berjudul Rockefeller and the Demise of Ibu Pertiwi, When Australia and Indonesia Again Go to War,
baru-baru ini terbit di Melbourne, Australia. Novel ini ditulis oleh
Kerry B. Collison, mantan diplomat Australia yang pernah bertugas di
Indonesia pada tahun 1960-an. Buku setebal 366 halaman ini diterbitkan
oleh penerbit Sid Harta, Melbourne, pada September lalu.
Bergenre fiksi berdasarkan fakta, buku ini meramalkan terjadinya
konflik bahkan perang antara Australia dan Indonesia yang dipicu oleh
masalah desakan kemerdekaan rakyat Papua. Gregory Copley, pemimpin
redaksi Defense and Foreign Affairs Strategic Policy, yang menurunkan
tulisannya di eurasiareview.com, (17/10), menilai, "Buku fiksi
karya Kerry Collison adalah sebuah bacaan penting bagi siapa pun yang
ingin memahami isu kemerdekaan Papua."
Bila PBB Setuju Referendum Papua
Salah satu bagian pada novel ini
menggambarkan situasi politik yang tidak stabil di Indonesia. Sejumlah
provinsi menuntut memisahkan diri dari Jakarta dan kekerasan terhadap
para transmigran dari Jawa meledak.
Pada saat yang sama desakan penentuan nasib sendiri rakyat Papua
telah menjadi agenda di Perserikatan Bangsa-bangsa. Ada kemungkinan PBB
akan mendukungnya. Dan itulah yang menjadi perdebatan pada sidang
kabinet Australia, yang digambarkan pada novel ini.
Sejumlah menteri menilai, pada akhirnya Indonesia akan menarik diri
dari Papua, seperti halnya yang terjadi ketika angkat kaki dari Timor
Leste. Pendapat seperti ini dilontarkan oleh menteri luar negeri dan
Jaksa Agung Australia.
Sebaliknya dengan menteri pertahanan. Ia meyakini Indonesia tidak
dengan mudah meninggalkan Papua. Melepas Papua, menurut sang menteri,
berisiko bagi RI karena akan memicu daerah lain berbuat serupa.
Kerry Collison dan istrinya.(dok.satuharapan.com) |
Perdana Menteri yang memimpin sidang menjadi gamang dan pusing untuk
mengambil keputusan. Konflik dengan Indonesia berimplikasi
tidak sederhana, termasuk rusaknya hubungan dagang. Sedikitnya 400
perusahaan Australia akan menderita.
Pada saat yang sama, angkatan bersenjata RI sudah melakukan
langkah-langkah provokatif dengan menerbangkan sejumlah pesawat
tempur mendekati Pulau Christmas. Sebelumnya, perang pernyataan
diplomatik antara kedua negara (Australia dan Indonesia) telah
berlangsung berbulan-bulan. Indonesia mencurigai Australia akan
mendukung kemerdekaan Papua pada
saat-saat terakhir, seperti yang mereka lakukan terhadap Timor Leste.
saat-saat terakhir, seperti yang mereka lakukan terhadap Timor Leste.
Fiksi, Fakta dan Pengalaman
Kendati skenario yang disajikan adalah fiksi, Gregory Copley menilai
buku ini tak bisa dianggap sebagai angin lalu. Acap kali, kata Copley,
masa depan hanya bisa disajikan dalam bentuk fiksi.Dalam konteks
meramalkan masa depan Papua, Copley mengatakan, penulis buku ini memang
terpaksa memilih genre fiksi karena terkendala oleh aturan hukum dalam
mendiskusikan berbagai isu politik tentang Papua di Indonesia. Terlebih
lagi, buku ini membicarakan sesuatu yang ekstrem yaitu tentang
'kematian' Ibu Pertiwi.
Kendati dituturkan dalam bentuk fiksi, menurut Copley, banyak rincian
dalam novel ini sesungguhnya adalah fakta yang dikemas menjadi fiksi
dan dapat ditelusuri jejak sejarahnya.Dalam buku ini, misalnya, Collison
mengangkat Rockefeller, yang menjadi judul buku ini, nama sebuah
keluarga miliarder di AS dan di Indonesia dikenal sebagai nama lembaga
pemberi beasiswa.
Michael Clark Rockefeller, anak kelima dari Gubernur New York kala
itu (kemudian menjadi wakil presiden), Nelson Aldrich Rockefeller, pada
19 November 1961 dinyatakan hilang (dan kemudian dinyatakan meninggal)
dalam sebuah ekspedisi ke wilayah Asmat di Papua. (Catatan: pada tahun
2014, Carl Hoffman menerbitkan sebuah buku yang mengisahkan
rincian pembunuhannya, dimana para tetua suku dan warga desa di sana
mengakui bahwa Rockefeller dibunuh setelah ia berenang menuju pantai
pada 1961. Meskipun ada klaim ini tidak ada bukti yang ditemukan tentang
kematiannya).
Isu Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice" yaitu
proses penentuan nasib sendiri Papua yang kontroversial pada tahun
1969, juga dikisahkan dalam buku ini. Selain itu, di buku ini penulisnya
juga mengisahkan tentang sebuah perusahaan tambang bernama
Akumuga Mining, pemain utama ekonomi Indonesia di Papua yang dikelola
oleh Summit Gold Mining Company dari AS (juga fiktif). Selanjutnya
dikisahkan manuver-manuver dan korupsi dari pihak-pihak militer, politik
dan perusahaan di Indonesia untuk memanfaatkan operasi pertambangan
itu, yang telah menjadi pusat ekonomi Indonesia.
"Collison dalam buku ini memberikan latar belakang yang signifikan
terhadap kegiatan, peristiwa, orang-orang dan organisasi yang
sesungguhnya, termasuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) serta badan
multinasional yang riel, Melanesian Spearhead Group (MSG)," tulis
Copley.
Tentang Kerry Collison
Bobot buku ini turut ditentukan oleh latar belakang penulisnya. Kerry
Collison memiliki latar belakang yang unik yang menggambarkan kedekatan
maupun penguasaannya terhadap isu yang ditulisnya. Kerry Collison
bergabung dengan Angkatan Udara Australia, Royal Australian Air
Force/RAAF) pada tahun 1962. Dia kemudian dikirim ke Pangkalan Angkatan
Udara RAAF di Point Cook, dan selama satu tahun di sana bersama beberapa
temannya yang terpilih, belajar Bahasa Indonesia.
Seiring dengan berkembangnya kekuasaan Partai Komunis di Indonesia
dan keterlibatan Australia dalam Perang Vietnam, pada saat itu ada
ketakutan terhadap ancaman invasi Asia ke Australia. Segera setelah
lulus Point Cook di usia 22 tahun, Kerry dikirim ke Jakarta sebagai
Asisten Atase Udara dan juru bahasa di Kedutaan Besar Australia. Ini
adalah masa-masa genting, dimana terjadi kekerasan dan pembunuhan
terhadap anggota PKI dari Oktober 1965 sampai akhir tahun 1967.
Kerry menghabiskan hampir tiga tahun di kedutaan Australia sebelum
mengundurkan diri dari Angkatan Udara negara itu dan kemudian mendirikan
bisnisnya sendiri di Indonesia. Langkahnya cukup tepat karena ia segera
menuai sukses karena aksesnya kepada militer Indonesia serta
hubungannya dengan Pemerintah Australia. Kerry telah berkiprah sebagai
perwakilan komersial dan ditunjuk oleh lebih dari dua puluh kelompok
internasional utama untuk mengawasi kepentingan mereka di Indonesia,
termasuk BHP dan Endeavour Resources.
Pada tahun 1971 Presiden Soeharto memberikan kewarganegaraan kepada
Kerry. Ini adalah pertama kalinya orang asing diberi status seperti itu
tanpa aplikasi. Hal ini mendatangkan keprihatinan dari pihak berwenang
Australia mengingat sensitifitas data dan akses yang dimiliki oleh
Collison selama masa jabatannya di Kedubes dan Angkatan Udara
Australia. Kewarganegaraan Australia Collison pun dicabut.
Karena kecewa, dia kemudian membangun kehidupan dan karier di
Indonesia. Dalam beberapa tahun yang singkat Kerry berhasil mengukir
ceruk yang kuat di masyarakat Indonesia. Beberapa pencapaian yang bisa
disebut antara lain menjadi anggota pendiri Young President. Selama 18
tahun ia sudah mendirikan 20 perusahaan dan usaha patungan di Indonesia.
Ia juga terjun ke bisnis properti di Cimacan, Puncak, dan di
Kalimantan. Ia juga berperan dalam sejumlah bisnis televisi satelit dari
Australia.
Kewarganegaraan Australia dirinya pun belakangan ini sudah dihidupkan kembali. Buku karyanya selain buku ini adalah "Crescent Moon Rising" (The Bali Bombings) 'Indonesian Gold', 'The Fifth Season', 'In Search of Recognition', 'Jakarta', 'Merdeka (Freedom) Square', dan 'The Timor Man'.
Diambil dari www.satuharapan.com
0 komentar:
Post a Comment