Foto: Doc: AMP |
YOGYAKARTA, AMP --- Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menolak kehadiran PT. Freeport Indonesia di tanah Papua, dan mengkritik rencana pemerintah Provinsi Papua menggandeng investor asal China, untuk membangun smelter di Timika.
Seperti dikutip dari suarapapua.com, ketua Umum AMP, Jefri Wenda menegaskan, solusi untuk rakyat Papua Barat hari ini adalah pemerintah Indonesia menutup berbagai perusahan asing yang beroperasi di tanah Papua, terutama Freeport.
"Ini cara yang paling baik untuk selamatkan rakyat Papua dari berbagai tindak kejahatan kemanusiaan, dan pemusnahan orang asli Papua yang sedang terjadi saat ini," kata Wenda, kepaa suarapapua.com, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, semua perusahan asing harus angkat kaki dari tanah Papua, sebab selama ini terus mengeruk kekayaan bumi Papua, namun tidak memberikan manfaat sama sekali.
"Kita semakin dimiskinkan karena kehadiran perusahan-perusahan asing itu, pembunuhan orang Papua juga terus terjadi karena mereka diback up oleh aparat TNI dan Polri,” ujarnya.
Wenda mengungkapkan, selama Freeport ada, militer juga akan ada. Ketika rakyat Papua tuntut hak, militer akan tembak mati dan perusahaan tetap terus beroperasi dengan tamaknya.
Ia menyebutkan, komitmen AMP mewakili Rakyat Papua tetap tolak kehadiran Freeport di Tanah Papua. Meski Gubernur setuju smelter di Papua dan Gresik, rakyat tidak setuju Freeport ada di Papua.
“Untuk apa tuntut smelter dan lain-lain, Freeport itu dalang kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua. Freeport harus ditutup dan keluar dari Papua.”
“Selama ini sumber daya manusia Papua tidak memadai untuk jadi karyawan di Freeport. Belum lagi militer akan di drop untuk jaga smelter, terus tanah adat dirampas lagi. Rakyat Papua yang akan menderita. Ini kami tidak bisa terima,” ujar Wenda.
Sebelumnya, Ketua Tim Teknis Pembangunan Smelter Papua, Bangun Manurung mengatakan, perusahaan asal Tiongkok, Non-Ferrous China Company dengan pendanaan Bank of China akan menjadi pelaksana pembangunan smelter di Papua.
“Setelah pabrik smelter dan pemurnian selesai, langsung diambil alih Bank Investasi Amerika Serikat. Non-Ferrous China Company (NFC) adalah perusahaan asal China yang memakai teknologi Kanada dan sudah berpengalaman membangun sejumlah pabrik smelter di beberapa negara,” kata Bangun, di Papua Selasa (17/2/2015) seperti dikutip dari kompas.com.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Papua ini menjelaskan, kelebihan teknologi NFC yakni sistem continous process memaksimalkan panas untuk pembangkit listrik, serta lebih hemat listrik.
“Untuk menggerakkan pabrik smelter membutuhkan daya sebesar 10 Megawatt, sementara untuk pabrik pemurnian sekitar 20 Megawatt."
"Dengan sarana penunjang sekitar 20 Megawatt dibutuhkan daya sekitar 50-60 Megawatt yang diperoleh dari pembangkit listrik uap atau gas,” ucap Bangun
AMP KK-Yogyakarta
0 komentar:
Post a Comment