Direktur Elsham Papua, Ferdinand Marisan (kiri) saat memberikan keterangan pers kepada wartawan di Kantor Elsham Papua – Dok. Jubi. |
Jayapura, – Menurut catatan Lembaga Studi Advokasi Hak Asasi
Manusia (Elsham) Papua sejak tahun 1998 hingga 2016 dari sekian
banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua hanya ada satu
kasus Pelanggaran HAM berat yang masuk ke Pengadilan HAM di Makassar.
Hal ini ditegaskan Direktur Elsham Papua, Ferdinand Marisan kepada
wartawan di Kantor Elsham Papua, Jumat (6/5/2016).
“Banyak sekali kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Sejak Elsham ini berdiri pada 5 Mei 1998 hingga kini genap 18 tahun kami telah mencatat ratusan dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Namun dari ratusan dugaan pelanggaran HAM tersebut kami petakan ada sekitar 13 kasus pelanggaran HAM berat dan dari 13 kasus tersebut hanya satu kasus yang berhasil didorong ke pengadilan HAM di Makassar,” katanya menjawab pertanyaan Jubi tentang berapa kasus pelanggaran HAM yang berhasil ditangani.
Marisan menambahkan, satu kasus tersebut adalah penyerangan terhadap
Polsek Abepura pada 7 Desember 2000 yang menimbulkan korban sebanyak 105
orang. Dari jumlah tersebut, tiga orang meninggal dunia saat penyisiran
yang dilakukan pihak keamanan dan tujuh orang meninggal dunia akibat
penyiksaan yang dialami setelah ditangkap oleh pihak aparat keamanan.
“Pada saat itu, aparat keamanan melakukan penyisiran tanpa melalui prosedur hukum. Misalnya penyelidikan dan mencari tersangka pelaku utama, jajaran kepolisian dalam hal ini Brimob langsung mengadakan penyisiran, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan kilat, penahanan tanpa melalui prosedur hukum dan kematian dalam tahanan,” ujanrya.
Dikatakan, Kasus Abepura masuk dalam kategori Pelanggaran HAM Berat.
Sesuai amanat UU 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM permanen, maka
kasus Abepura telah disidangkan di Pengadilan HAM Makassar pada 8-9
November 2005. Proses persidangan sangat lambat dan tertutup sehingga
terjadi pembicaraan-pembicaraan atau sidang sandiwara antar Hakim, JPU
dan Pelaku.
“Dua terdakwa utama yang dihadirkan yaitu Komisaris Polisi Daud Sihombing dan Kepala Brimob Papua Johny Wainal Usman. Keputusan hakim membebaskan kedua terdakwa (Impunitas-red) memberikan pemulihan nama baik, serta memberikan promosi jabatan oleh Negara dan kepada para korban di cap sebagai separatis dan tidak memberikan reparasi bagi korban,” katanya.
Berkaca dari kasus tersebut, Marisan mengatakan bahwa negara masa
bodoh, terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua di antaranya
Kasus Biak Berdarah 1998, Kasus Abepura 7 Desember 2000, Wasior 13 Juni
2001, Wamena Berdarah 6 Oktober 2000 dan 4 April 2003 Pembunuhan Theys
H. Eluay dan hilanganya Aristoteles Masoka pada 10 November 2001.
“Ada juga Kasus Abepura 16 Maret 2006, kasus penembakan terhadap Opinus Tabuni 9 Agustus 2008. Dari sekian banyak kasus tersebut hanya Abepura 2000, yang telah disidangkan di Pengadilan HAM Makassar. Sementara nasib Kasus Wasior dan Wamena proses hukumnya mandek masih terjadi tarik ulur oleh Kejaksaan Agung dan Komnas HAM Jakarta. Padahal status kedua kasus tersebut masuk dalam kategori Pelanggaran HAM Berat,” ujarnya.
Ditempat yang sama, Koordinator Divisi Monitoring dan investigasi
Elsham Papua, Daniel Randongkir mengatakan bahwa semua kasus pelanggaran
HAM di Papua sudah melalui verifikasi oleh Komnas HAM RI namun hingga
kini belum ada penyelesaian yang nyata oleh Komnas HAM RI dan juga
pemerintah Indonesia. Dalam kasus-kasus tersebut dibagi menurut
klasifikasi masalah yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat dan
pelanggaran HAM biasa.
“Tantangan kami terkait pelanggaran HAM di Papua adalah kasus-kasus yang terjadi sebelum disahkannya UU HAM No 26 tahun 2000, dimana mekanismenya sedikit rumit karena pengadilan yang dibentuk berdasarkan Pengadilan Ad Hoc. Pengadilan Ad Hoc tersebut diputuskan berdasarkan keputusan DPR, itu yang menjadi kendala kami untuk melakukan advokasi terhadap beberapa kasus pelanggaran HAM di Papua,” katanya.
Randongkir menambahkan, sudah banyak kasus yang pihaknya serahkan
kepada Komnas HAM namun tidak pernah ditindaklanjuti sehingga itu
pihaknya mempertanyakan kinerja dari Komnas HAM baik di Papua maupun di
Pusat.
“Dalam kasus-kasus besar pemerintah mempunyai banyak alasan mempertanyakan alat bukti dan saksi-saksi. Memang kalau kejadian tersebut langsung dilaporkan dan ditindaklanjuti itu alat buktinya masih ada. Tetapi selama ini sengaja dibiarkan sehingga kami beranggapan bahwa pemerintah melakukan pembiaran sekian lama sehingga berharap alat-alat bukti dan saksi-saksi tersebut hilang,” ujarnya.
Hingga saat ini, menurut Randongkir, ada beberapa korban yang dalam
laporan Elsham Papua dikabarkan hilang. Misalnya kasus 6 Juli 1998 di
Biak sampai hari ini korban-korban tersebut hilang dan tidak tahu kemana
rimbanya. Kasus ini seharusnya pihak TNI AL Biak yang mengetahui
keberadaan para korban tersebut karena terakhir para korban ditahan di
dalam penjara TNI AL di Biak. Namun pihak TNI AL belum memberikan
konfirmasi bahwa korban tersebut sudah berada dimana, apakah sudah
meninggal atau belum.
“Kasus serupa juga terjadi pada Aristoteles Masoka yang merupakan supir dari almarhum Theys Eluay. Aris terlihat terakhir kali masuk ke markas Kopassus di Hamadi. Sampai saat ini juga Kopassus belum melakukan konfirmasi keberadaan Aris kepada publik terlebih kepada keluarga dari Aris. Elsham yang pada saat itu melakukan advokasi terhadap kasus tersebut sampai hari ini secara moral masih bertanggung jawab terus bertanya-tanya terhadap korban-korban yang hilang,” katanya.
Dari ratusan kasus tersebut, pihaknya mempertanyakan apa yang telah
dilakukan pemerintah RI terhadap ribuan kasus pelanggaran HAM di Papua.
Terlalu banyak kasus yang terus menumpuk namun tidak ada tindak
lanjut yang rill oleh negara terhadap persoalan yang ada di Papua.
Seharusnya pemerintah bertanya-tanya apa penyebab sehingga masyarakat
Papua selalu melakukan aksi untuk melawan Negara?
“Pemerintah harus mencari tahu apa yang menjadi penyebab masyarakat Papua melawan Negara. Itu yang harus dilakukan pemerintah bukannya menangkap masyarakat dan melakukan penyiksaan kepada korban yang ingin mencari kebenaran,” tambah Randongkir.
Pada bulan April lalu, Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan
(Kemenkopolhukam) melakukan rapat koordinasi untuk menyelesaikan
kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua. Bersama Kapolri dan Komnas
HAM, rapat koordinasi ini memutuskan tiga kasus pelanggaran HAM akan
diselesaikan di tahun 2016 ini. Masing-masing adalah kasus Wamena dan
Wasior yang kasusnya akan digelar ulang serta kasus Paniai 2014 yang
penyelidikannya akan dilakukan oleh tim Ad Hoc.
“Khusus kasus Aristoteles Masoka, Kepolisian Daerah Papua dan Pangdam Cenderawasih telah diperintahkan oleh Menkopolhukam untuk melakukan penyelidikan,” kata Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM yang diserahi tanggungjawab untuk kasus-kasus Papua, kepada Jubi, akhir April lalu. (*)
Sumber : tabloidjubi.com
0 komentar:
Post a Comment