Kamis, 20/10/2011 19:39 WIB
Jakarta - Konflik yang terjadi di Papua usai digelarnya Kongres Rakyat Papua (KRP) III mengundang perhatian banyak pihak. Sejumlah kalangan menilai bahwa hadirnya KRP tersebut merupakan bentuk ketidakpuasan masyarakat Papua terhadap kondisi daerahnya.
Hal ini diperparah dengan tidak berjalannya UU No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua dengan semestinya.
"Kita sesalkan Otsus tidak bisa dilakukan. Kalau dilakukan secara sempurna tidak akan ada masalah," terang mantan anggota Pansus UU Otonomi Khusus Papua, Effendi Choirie, saat ditemui wartawan di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Kamis (20/10/2011).
Pria yang akrab disapa Gus Choi ini menambahkan, tidak berjalannya UU Otsus kemungkinan karena adanya kepentingan asing yang ikut campur. Sebab, dengan adanya UU Otsus tersebut, Papua seolah tertutup bagi pihak asing.
"Kemungkinan asing tidak mau ada Otsus. Sekarang asing seneng karena rakyat marah. Ketika marah akan bisa disusupi orang asing," terangnya.
Dalam kesempatan yang berbeda, pengamat politik Papua, Frans Hanai, juga menyatakan hal yang senada. Menurutnya, UU Otsus merupakan jalan keluar yang paling baik bagi masyarakat Papua.
"Mari lakukan UU Otsus secara bermartabat," ajaknya.
Selain itu, Frans menambahkan, pemerintah perlu merenegosiasikan kontrak karya dengan PT Freeport. Selama ini, Freeport dinilai hanya merugikan masyarakat Papua dan bangsa Indonesia.
"Tinjau kembali kontrak karya Freeport. Freeport tidak hanya merugikan bangsa tetapi juga rakyat papua. Mari nasionaliasi freeport. Kenapa tidak?" tutupnya.
0 komentar:
Post a Comment